Gunung Papandayan - Walau Terasa Sulit, Usahakan Untuk Summit! (3/4)

by - January 12, 2018

lembah
Gunung Papandayan, Senin siang, saat kami melakukan perjalanan menuju ke sebuah tanah lapang.

Berjalan kaki sekitar 45 menit menyusuri hutan kini harus diakhiri, karena sebentar lagi kami akan tiba di sebuah tanah lapang yang sudah dipenuhi oleh beberapa tenda berwarna-warni. Pondok Salada namanya, kami sendiri belum dapat memahami kenapa tempat ini disebut dengan nama Pondok Salada, apa mungkin di sini banyak terdapat sayuran bernama selada?

Entahlah, yang pasti sepanjang perjalanan menuju tempat ini kami tak henti-hentinya untuk terpana. Melihat indahnya bukit dan dataran yang kini ada jauh di bawah. Kini sebuah papan berwarna hijau dengan tulisan “Pondok Saladah, Camp Area” telah menyambut kami, berarti pula bahwa saat melewati tulisan tersebut kami akan memasuki area perkemahan. Sebenarnya hal mendesak yang harus dilakukan selanjutnya adalah memilih lokasi strategis untuk mendirikan tenda. Namun. Kami lebih memilih untuk menikmati pemandangan di sekitar. Lapangan landai yang cukup luas dan dikelilingi oleh dataran tinggi berwarna hijau membuat kami enggan untuk beranjak dari tempat kami berdiri.

papandayan 3

Satu hal yang menurutku unik adalah terdapat beberapa bangunan yang berupa saung didirikan di sana. Ternyata itu adalah warung-warung yang akan digunakan oleh para pedagang untuk menjual minuman dan makan hangat pada saat akhir pekan atau saat jumlah pendaki sedang banyak. Saat ini aku lihat ada sebuah warung yang sedang buka, dan Nampak pula di sana sang pedagang sedang menyiapkan kayu bakar untuk membuat kompor tradisional.

pondok saladah

Sadar bahwa waktu dzuhur akan segera tiba, kami pun harus segera memutuskan di mana lokasi terbaik untuk membuat tenda. Setelah beberapa kali memilih tempat, akhirnya kami pun menggunakan area yang berada dekat dengan pepohonan yang berhimpitan dengan perbatasan antara tanah lapang dan hutan. Pertimbangannya agar pepohonan dapat menahan laju angin sebelum menerpa tenda kami, serta diharapkan pepohonan dapat pula menahan air yang jatuh ke arah atap tenda apabila sedang turun hujan.

Setelah berlelah-lelah medirikan tenda dengan susah payah, akhirnya tenda dome dengan ukuran mini berkapasitas dua orang sudah siap untuk dipakai oleh tiga orang. Bukannya kami mulai memasukkan barang-barang ke dalam tenda, saat itu kami malah asik duduk-duduk di depan tenda sambil memasak air, menyeduh sereal dan mengeluarkan Guitalele (gitar mini) untuk mengiringi lagu yang akan kami nyanyikan.

camp ceria

Matahari kini sudah hampir sampai ke posisi puncaknya, sebentar lagi waktu dzuhur akan tiba pula. Jika ingin summit (mencapai puncak gunung), kami harus segera bersiap-siap untuk beribadah dan menyiapkan perbekalan untuk pergi ke Tegal Alun dan Puncak Papandayan. Satu persatu barang yang bisa ditinggalkan di dalam tenda kami posisi kan dengan rapi. Kini kondisi dalam tenda sudah rapi dan siap untuk ditinggal pergi, sementara kami bertiga langsung beranjak untuk segera ke mushola terdekat.

Sesampainya di kawasan mushola, lagi-lagi diriku dibuat takjub. Ternyata mushola di kawasan Pondok Salada cukup dirawat dengan baik, bangunannya terbuat dari kayu yang dibangun berbentuk pondok. Di dekatnya terdapat pipa yang dialiri air untuk kegiatan mencuci, mengambil air, dan bersuci. Sambil mengamati tempat wudhu, aku arahkan pandangan ke kanan. di sana terdapat sebuah toilet umum yang cukup bersih, dan pastinya BOKER-ABLE (layak dipakai BAB)

mushola papandayan

Sekarang semua kewajiban telah kami lakukan, saatnya melanjutkan petualangan. Untuk menuju ke Puncak Papandayan, kami telah diberi informasi untuk mengikuti jalur menuju ke arah kawasan Hutan Mati, kemudian ke Tegal Alun, baru melanjutkan perjalanan ke arah Puncak Papandayan. Saat itu kami cukup kesulitan untuk mencari jalur dari perkemahan menuju ke kawasan Hutan Mati, akhirnya kami memutuskan untuk menyebrangi jalan tanah yang berlumpur dan berair. Ternyata di seberang tampak pula beberapa petualang yang sedang berjalan menuju ke perkemahan.

Saat berada di tengah jalan berlumpur akhirnya rombongan kami berpapasan dengan rombongan mereka. Kami pun mencoba bersikap sopan dengan mempersilakan mereka untuk terus berjalan lurus, sedangkan kami berjalan dengan sedikit bergeser ke arah kanan. Tepat saat kami baru menyapa mereka, saat itu pula di depan ku terdapat sebuah kubangan yang ku kira dangkal. Aku langkahkan kaki ku, dan ternyata kaki ku terperosok masuk ke dalam kubangan yang ternyata dalam.

Celana ku langsung basah dari ujung bawah hingga ke bagian paha, beberapa dari mereka langsung mencoba untuk menolong dan mengangkat ku. Saat itu rasanya lebih besar
kemaluanrasa malu ku daripada rasa menyesal karena celana ku basah dan penuh lumpur. Akhirnya aku pun mencoba untuk membersihkan celana ku sambil menertawai kejadian yang barusan aku alami bersama Rick dan Dzi. Saat itu pula aku sadari di dekat ku mencuci kaki terlihat Pohon Edelweiss, Anaphalis javanica yang sedang berkembang.

Pohon Edelweiss, Anaphalis javanica

Perjalanan segera kami lanjutkan kembali, sekarang kami mulai berlomba untuk menemukan pita berwarna merah, biru, atau oranye yang terikat di dahan pohon. Tanda yang diikatkan di dahan itu berarti jalur yang kami lalui sudah tepat, sehingga bila kami tidak menemukan pita berwarna yang terikat di pohon berarti kami harus kembali untuk mencari lagi di jalur sebelumnya.

Sudah 60 menit kami berjalan kaki, kini kami mulai memasuki wilayah Hutan Mati. Sebuah tempat yang bertanah kapur dengan warna putih pucat dan terdapat pohon-pohon hitam tanpa daun yang tertancap di sekitarnya. Semuanya terlihat sama, jika kita tidak mengingat jalur yang kita lewati bisa tersesat kita dibuat olehnya. Pemandangan ini sangat mirip dengan hutan-hutan seram yang sering digambarkan pada film kartun. Namun, suasana yang terkesan penuh misteri dan mistis ini justru bagiku terasa sangat eksotis. Bersyukur bisa menikmati berbagai macam jenis lingkungan yang ada di Papandayan.

Hutan Mati Papandayan

"Kalian tau kenapa Hutan Mati bisa seperti ini?", tanya Dzi pada ku dan Rick.
Aku dan Rick menggeleng bersamaan.
"Kira-kira lebih dari 2oo tahun yang lalu Gunung Papandayan pernah mengalami bencana hebat, tepatnya pada Agustus tahun 1772. Gunung ini meletus dengan dahsyat tanpa peringatan, menyebabkan sekitar 40 desa di sekitarnya terkubur dan lebih dari 3000 penduduk beserta hewan-hewan ternaknya terhisap ke dalam danau vulkanik. Lee Davis pernah menuliskan catatannya dalam buku, Natural DisasterNo day of judgment painted by Angelo or Dore could ever match that actual horror of the solid mountain sinking into the earth with human beings on its slopes—its huge bulk going down as a ship goes down into the deep.” kira-kira seperti itu ceritanya", ucap Dzi menjelaskan.
"Berarti pohon ini kehilangan daun-daunnya karena bekas terkena erupsi ya.", ujar ku menambahkan.
"Pantesan aja warna pohonnya jadi agak hitam.", ucap Rick sambil melajutkan perjalanan kembali.

hutan mati papandayan 2

Sekarang Hutan Mati telah berada di belakang kami, hanya ada jalan yang menanjak menanti kami saat ini. Jalur yang harus kami lalui untuk menuju ke Tegal Alun. Kucoba untuk memperhatikan jalur di depan sambil berhenti untuk istirahat. Sepertinya jalan yang akan kami lalui cukup menanjak dan cukup terjal. Tampak beberapa undakan yang tingginya sama dengan pinggangku, mungkin sekitar 80 cm dari tanah tempatku berpijak.

Tepat saat berjalan menelusuri jalur yang menanjak tersebut, seketika kabut mulai turun membuat jarak pandang menjadi terbatas. Saat itu pula tercium bau khas yang akan tercium jika memasuki wilayah gunung berapi aktif, bau belerang. Aku rasakan jantung mulai berdegup 3 kali lebih kencang dari biasanya, tapi kami tetap berjalan pelan-pelan.

jalur sebelum tegal alun

Akhirnya setelah lebih dari satu jam berjalan dari Hutan Mati, kami pun tiba di sebuah kawasan yang berupa dataran yang sangat luas dan dipenuhi oleh Pohon Edelweiss, Anaphalis javanica yang sedang berkembang. Tegal Alun namanya. Semua rasa lelah dan rasa jenuh ketika melewati tanjakan pun seketika sirna saat melihat hamparan padang edelweiss yang luas ini. Kami pun tak menyia-nyiakan waktu untuk segera menjelajahinya.

tegal alun

Sementara ini kami hanya ingin  menikmati saja semua yang ada di sini, karena benar rasanya sebuah kalimat yang berkata, semua akan indah pada waktunya. Serta Imam Asy-Syafi’i yang berkata bahwa Manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang!

aku di tegal alun papandayan

You May Also Like

0 comments