Gunung Papandayan : Setiap Tujuan Harus Selalu Diperjuangkan! (2/4)

by - January 05, 2018


camp david

Garut, Senin dini hari, saat bulan bersinar terang setelah hujan berhenti, saat pagi segera ia akan berganti dengan matahari.

Sebuah gapura besi menyambut ramah di antara kegelapan. Lalu kami pun segera turun dari mobil tua ini dan menuju ke emperan. Halaman sebuah toko yang sedari tadi sudah tidak mempunyai aktivitas dan kesibukan. Sebenarnya kami ingin melanjutkan perjalanan menuju ke Camp David, pos pendakian Gunung Papandayan saat adzan subuh telah berkumandang, tapi tawaran para supir mobil pickup yang mengatakan bahwa ada sebuah mushola yang dapat di gunakan di atas sana membuat kami akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Saat itu sebuah mobil bak terbuka telah diisi oleh 15 tas ransel berkapasitas 60 Liter dan 15 orang pendaki yang semuanya belum pernah menjelajahi gunung ini.

Mobil ini terasa berusaha sangat keras untuk berjalan, selain karena muatan yang berlebihan ternyata jalanan yang kami lalui pun cukup beliku dan penuh dengan tanjakan. Kupandangi kanan dan kiri tubuhku, semua dipenuhi oleh pepohonan. Namun, saat aku menoleh ke arah belakang mobil ini, saat itu pula aku langsung terpana. Kulihat di sana pemandangan kota Garut yang sebagian diselimuti oleh kabut, tapi lampu-lampu kecil dari setiap bangunan yang ada di dalamnya tak pernah berhenti berkelap-kelip menghiasi sudut kota. Sebuah gunung yang gagah mengerucut tampak di tengahnya, Gunung Cikuray begitu mereka menyebutnya. Aku kembali terpana sambil mengucap syukur atas nikmat pemandangan yang sangat indah ini.

papandayan jilid 2

Tepat saat arlojiku menampilkan angka 04.00 WIB, kami telah tiba di sebuah pos penjagaan untuk melakukan pendaftaran. Di sana kami disambut hangat oleh dua orang yang sedang berjaga, setiap ketua regu harus mengisi data diri dan membayar retribusi sebelum melakukan pendakian. Setelah semua persyaratan kami serahkan, selanjutnya kami berjalan untuk mencari mushola terdekat sambil menunggu waktu subuh yang sebentar lagi akan tiba.

Sang fajar kini telah menyinsing dengan kemilau cerahnya. Beberapa teman kami sudah lebih dulu berjalan untuk memulai pendakian. Sementara kami masih asik sendiri mengatur perbekalan dan barang bawaan, sambil menyeruput kopi hangat serta menikmati mie berkuah yang terasa sangat nikmat di warung terdekat. Sambil kami menyantap hidangan, sang penjaga warung memberi saran pada kami untuk menghindari beberapa rute yang dikhawatirkan akan longsor pada musim hujan seperti ini.

jalan awal pendakian papandayan

Kini sudah pukul 06.00 pagi, kami awali perjalanan kali ini dengan berdoa bersama dalam hati. Ketika berjalan menuju pintu masuk jalur pendakian, kami sempat menemukan sebuah gambar yang berisi informasi tentang titik-titik yang akan kami lewati sepanjang perjalanan. Setelah mengambil beberapa foto, perjalanan pun kami lanjutkan. Medan pertama yang kami lalui adalah jalanan berbatu yang agak menanjak dengan semak-semak di sisi kanan dan kiri kami. Sungguh sebuah pemandangan yang indah untuk mengawali hari ketika kami mencoba melihat ke arah belakang.

menuju kawah papandayan

Sudah 30 menit kami berjalan menanjak dan melintasi jalan berbatu, kini kami telah tiba di area Kawah Papandayan. Sebuah tempat yang dipenuhi oleh asap hasil pembakaran belerang yang ada di dalam bumi. Aku sempat melihat beberapa genangan air yang tampak berbuih karena sedang mendidih, mungkin sebuah telur rebus dapat aku sajikan jika aku mencelupkan sebuah telur ayam mentah ke genangan itu. Sekarang di sekeliling kami tampak tebing-tebing berbatu yang berwarna pucat dan menjulang tinggi.

kawah papandayan

Tepat pukul 07.30 pagi, akhirnya kini kami pun tiba di sebuah saung (gubuk / rumah kayu) yang disebut orang sebagai pos 1 pendakian setelah melewati area kawah. Di sekitar sini mulai dapat kami temukan pohon-pohon yang berwarna hijau, dan pemandagan bukit-bukit di sekitar yang membuat mata terasa sejuk. Ku nikmati udara segar yang sudah tidak lagi tercemar oleh bau belerang. Sambil mengabadikan beberapa pemandangan yang membuatku terkesan.

Kami pun melanjutkan perjalanan kembali, kali ini medan yang kami lalui cukup landai dan jalannya cukup lebar. Beberapa kali aku jumpai penduduk lokal yang membawa kayu bakar. Saat berjalan menyusuri pinggiran tebing, aku melihat sebuah pemandangan yang menarik perhatianku. Sebuah area lembah yang cukup lebar dipenuhi oleh batu-batu yang ternyata disusun secara rapi dan membentuk suatu tulisan. Membacanya membuat kutersenyum saat itu, karena isinya adalah topik yang sedang hangat dibicarakan saat ini.

lembah papandayan

Setelah melanjutkan perjalanan kembali kini kami telah tiba di sebuah persimpangan. Tidak adanya panduan di sekitar tempat ini membuat kami harus membuat keputusan sendiri ke arah mana kami harus melangkah. Kami putuskan untuk mengambil jalur yang menuju ke arah kiri kami. Namun, ternyata di tengah jalan kami di hadang oleh jalan yang telah longsor, membuat kami harus mengubah arah ke jalur kanan. Saat itu aku menyadari bahwa sedari awal saat di persimpangan, Dzi menyarankan untuk mengambil jalur kanan, tapi kami tetap melangkah ke kiri karena merasa bahwa jalur kanan adalah jalur yang baru dibuka. Ternyata semua baru terbukti sekarang, jalur kanan tersebut baru dibuka karena adanya jalan yang terhalang oleh longsoran ini.

Keputusan untuk mengubah arah dan mengambil jalur ke kanan, membuat kami akhirnya tiba di sebuah sungai kecil dengan air yang mengalir dengan jernih. Semua itu membuat kami ingin membasuh bagian tubuh kami yang kotor. Dinginnya air pegunungan membuat kami segar kembali, dan juga membuat badan ini sedikit menggigil. Kini kami pun siap untuk melanjutkan perjalanan melalui daerah yang ternyata cukup menantang. Sebuah jalan sempit di antara tebing yang cukup becek karena hujan semalam. Kami pun harus memilih dengan cermat ke arah mana kaki ini harus berpijak.

sungai kecil

Saat sedang berusaha keras mencari jalan, terdengar suara yang tidak asing di telinga kami. Suara deru mesin dan knalpot kendaraan bermotor yang harusnya tidak dapat kami temukan di gunung seperti ini. Kami pun refleks menoleh ke arah belakang, tampak lah di belakang kami sebuah motor trail dengan ban offroad-nya yang sedang mencoba berjalan ke arah kami. Seketika saat itu juga aku merasa ingin tertawa, perjuangan kami untuk jalan kaki seolah terkalahkan oleh kemudahan untuk mendaki gunung ini dengan naik kendaraan. Rasanya seperti sedang tanding tinju, udah sering mukul, dan pukulan kena terus ke lawan, eh taunya lawan cuma sekali pukul balik,  pukulan upper cut, kita langsung KO.

“Hahahahaha, tau gitu kita ngojek (naik ojek) aja ya sampai ke puncak gunung. Motor saja bisa naik sampai atas sini.”, ucap ku bercanda.

ﻭﺍﻧﺼﺐ ﻓﺈﻥ ﻟﺬﻳﺬ ﺍﻟﻌﻴﺶ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺼـﺐ
Berlelah-lelah lah! Manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang!
(Syair Imam Asy-Syafi’i)
Tetap saja semua tujuan harus diperjuangkan, tidak ada ada yang instant. Ucapku dalam hati.

motor naik gunung

Kaki ini tak berhenti melangkah lagi setelah dilewati oleh dua orang pengendara motor yang sempat kami sapa dengan ramah. Hingga akhirnya kami berjumpa kembali dengan jalur yang cukup landai dan lebar. Di sana kami temukan pula beberapa teman kami yang tadi sudah berjalan lebih dulu dari kami ketika berada di Camp David. Setelah mengobrol sebentar, kami lanjutkan langkah ini karena sebentar lagi kami akan tiba di pos pendakian yang ke2.

Arlojiku sedang menampilkan angka 08.45 WIB ketika akhirnya kami tiba di pos 2, segera kami duduk di saung (rumah kecil / gubuk) terdekat. Di dalamnya ada seorang yang sedang berjualan, menawarkan baso ikan kukus, minuman hangat dan beberapa kopi instant yang dapat ia seduhkan. Tanpa perlu pikir panjang, kami pesan tiga gelas kopi yang disajikan dengan cara diseduh memakai air hangat. Sambil minum kopi, kami disarankan untuk melakukan pendaftaran di pos 2 jika ingin berkemah. Kami pun diberikan penjelasan bahwa ada tiga area yang bisa digunakan untuk berkemah, Goberhood, Bukit Sunrise, dan Pondok Salada. Untuk area Goberhood dan Bukit Sunrise lokasinya berada dekat dengan area pos 2, sedangkan untuk Pondok Salada dapat kita capai dengan berjalan kaki sekitar 30 – 45 menit dari pos 2.

Pos 2 Papandayan

Seorang penjaga sempat pula menjelaskan pada kami bahwa dari pos 2 kami bisa menjelajahi sebuah area yang saat ini telah ditutup, Tegal Panjang namanya. Sebuah area yang hanya bisa dimasuki untuk alasan konservasi saja. Di sana terdapat padang ilalang yang tumbuh setinggi 30 cm saja dari tanah. Sebuah tawaran yang sangat menarik yang suatu saat harus kami coba kembali. Namun, ia juga mengingatkan jika di sana sering terlihat aktifitas satwa yang dikenal dengan sebutan Maung Siliwangi, atau harimau belang (Panthera tigris sondaica).

ranselijo.com, tegal panjang

Kami putuskan untuk menikmati kopi kami kembali sebelum mendaftarkan lokasi kemah yang akan kami diskusikan sambil duduk-duduk santai. Pondok Salada menjadi pilihan pertama kami, karena lebih dekat dengan puncak. Lagipula jika dari Pondok Salada dan kami ingin kembali ke pos 2 atau pergi ke Bukit Sunrise untuk menikmati terbitnya matahari, kami bisa berjalan kaki dalam waktu 30 menit saja.

Kini kopi di gelas kami sudah habis, segera kami daftarkan pilihan tempat kami berkemah kepada penjaga di pos 2. Setelah menyiapkan tas kami kembali, kini kami pun siap untuk melakukan penjelajahan menuju ke tempat perkemahan. Pondok Salada.

You May Also Like

0 comments