Gunung Papandayan : Jangan Hanya Termenung! Ayo Pergi Ke Gunung! (1/4)

by - December 29, 2017


papandayan 2

DKI Jakarta, Minggu pagi, aku sendiri tidak dapat mengingatnya dengan detail, tetapi masih di bulan-bulan awal tahun 2015.

Semua ini bermula dari adanya kebijakan mendadak dari tempatku mengais rejeki yang menyarankan untuk mengambil hari libur / bebas tugas kerja selama 2-3 hari. Awalnya aku sempat enggan untuk meliburkan diri karena selain saat ini masih musim hujan, aku sedang tidak ada rencana untuk berkegiatan apa pun. Hingga aku berbincang dengan beberapa temanku yang ternyata bernasib sama untuk mengambil jatah libur selama beberapa hari.

Beberapa hari sebelum waktu libur dadakan tersebut tiba, aku coba untuk menghampiri Dzi, salah seorang sahabat yang gemar melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk menyalurkan hasratnya dalam menikmati alam. Perbincangan yang dimulai dengan keluhan karena adanya paksaan, berbuah sebuah ide perjalanan yang tampaknya menyenangkan. Obrolan pun bertambah seru saat salah seorang sahabat ku yang bernama Rick ikut bergabung dan mendukung.

Tercetuslah “Perjanjian Cilandak”, begitu kami menyebutnya, perjanjian untuk melakukan suatu perjalanan bersama-sama dan mencoba untuk menjelajahi Bumi Pasundan yang menawan. Perjalanan yang tampaknya akan penuh tantangan bila dilakukan di musim penghujan. Perjalanan yang mau tidak mau harus disiapkan dalam satu kali pertemuan. Perjalanan menuju sebuah kawasan pegunungan, Gunung Papandayan.

papandayan

Gunung Papandayan adalah gunung api strato yang terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat, tepatnya di Kecamatan Cisurupan. Gunung dengan ketinggian 2665 mdpl (meter di atas permukaan laut) itu terletak sekitar 70 km di sebelah tenggara Kota Bandung. Pada Gunung Papandayan, terdapat beberapa kawah yang terkenal, di antaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk. Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap dari sisi dalamnya. Topografi di dalam kawasan ini cukup curam, berbukit dan bergunung serta terdapat tebing yang terjal. Menurut kalisifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk type iklim B, dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm/tahun, kelembaban udara 70 – 80 % dan temperatur 10 º C.

Dalam catatan sejarah, Gunung Api Papandayan tercatat telah beberapa kali meletus diantaranya pada 12 Augustus 1772, 11 Maret 1923, 15 Agustus 1942, dan 11 November 2002. Letusan besar yang terjadi pada tahun 1772 menghancurkan sedikitnya 40 desa dan menewaskan sekitar 2957 orang. Daerah yang tertutup longsoran mencapai 10 km dengan lebar 5 km. Pada 11 Maret 1923 terjadi sedikitnya 7 kali erupsi di Kawah Baru dan didahului dengan adanya gempa yang berpusat di Cisurupan. Pada 25 Januari 1924, suhu Kawah Mas meningkat dari 364 derajat Celsius menjadi 500 derajat Celcius. Sebuah letusan lumpur dan batu terjadi di Kawah Mas dan Kawah Baru dan menghancurkan hutan. Sementara letusan material hampir mencapai Cisurupan. Pada 21 Februari 1925, letusan lumpur terjadi di Kawah Nangklak.

3

Pada tahun 1926 sebuah letusan kecil terjadi di Kawah Mas. Sejak April 2006 Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menetapkan status Papandayan ditingkatkan menjadi waspada, setelah terjadi peningkatan aktivitas seismik. Pada 7-16 April 2008 Terjadi peningkatan suhu di 2 kawah, yakni Kawah Mas (245-262 derajat Celsius), dan Balagadama (91-116 derajat Celsius). Sementara tingkat pH berkurang dan konsentrasi mineral meningkat. Pada 28 Oktober 2010, status Papandayan kembali meningkat menjadi level 2.

lembah

Minggu sore kami telah berkumpul di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Sambil mencoba untuk menyiapkan perbekalan dan mengatur barang bawaan. Semua harus muat dalam tiga buah tas yang biasa disebut carrier dengan kapasitas 60++ Liter dan akan kami bawa tas itu satu-satu. Kini tak terasa arloji di tangan kiriku sudah menunjukkan angka 20.00 WIB, sudah waktunya kami berangkat pergi meninggalkan Ibukota. Menuju ke Tanah Pasundan yang akan ditempuh dalam waktu 4-5 jam perjalanan.

Menaiki Bus Koantas Bima bernomor 509 yang cukup ramai dari sebuah teminal bayangan di kawasan Cilandak, kami pun segera bertolak menuju ke sebuah tempat yang bernama Pasar Rebo. Baru setengah perjalanan tiba-tiba langit sudah tak kuasa menahan beratnya air yang akan turun, seketika hujan pun hadir dengan sangat derasnya. Hatiku pun menjadi sedikit khawatir, jangan-jangan ini sebuah pertanda awal dari alam yang sedang kurang bersahabat. Namun, kali ini tak aku hiraukan perasaan itu, hanya tatapan getir yang kubagikan ke rekan seperjalanan ku sambil bersiap untuk turun dari bus yang sebentar lagi akan melitasi kawasan Pasar Rebo.

dwikisetiyawan.wordpress.com

Turun dari bus, kami langsung disambut hujan yang membuat tubuh kami menjadi kebasahan. Untungnya tempat kami turun cukup dekat dengan kios buah yang bisa digunakan untuk berteduh. Sambil mencoba untuk menikmati suasana hujan yang sedang turun dengan derasnya, mataku pun mau tak mau harus bekerja extra untuk mengamati Bus AKAP (antar kota antar propinsi) yang datang silih berganti melewati tempat itu.

Tepat saat angka di arloji berbentuk angka 21.30 sebuah bus dengan jurusan Lebak Bulus – Garut pun datang menghampiri tempat kami berdiri. Seketika kami pun langsung bergegas untuk menaikinya, kemudian mencari tempat ternyaman untuk langsung merebahkan badan dan barang bawaan. Beruntungnya kami karena saat itu bus sedang dalam keadaan kosong, hanya ada sekitar 20 orang penumpang yang sedang duduk di bangkunya masing-masing.

Sempat ku jumpai beberapa pedagang yang menawarkan barang dagangannya berupa tahu goreng, air mineral, hingga senter. Tak kulewatkan kesempatan ini untuk membeli air mineral sebagai persediaan selama perjalanan antar kota ini. Bus pun mulai berjalan dan memasuki jalur bebas hambatan. Seketika kedua teman ku Dzi dan Rick langsung tertidur pulas hingga sang kondektur bus meminta ongkos perjalanan kami. Setelah membayar sejumlah uang, ku coba untuk mengamati ke luar jendela bus. Ternyata kami sudah hampir tiba di Gerbang Tol Cileunyi.

Saat bus berhenti untuk menurun-naikkan penumpang para pedagang pun ikut menawarkan berbagai jajanan kembali. Gehu (tahu isi), tahu sumedang, bacang, dan barang dagangan lainnya pun disebutkan oleh mereka dengan suara lantang. Sementara aku yang sedang bosan karena sedari tadi hanya duduk memandangi jendela mencoba untuk pindah ke bangku yang ada di bagian belakang bus. Di sana terlihat beberapa orang sedang asik mengobrol dan tertawa. Tak ingin kulewatkan kesempatan untuk bertanya dan bercerita pada mereka.

“Wira. ngiring calik di dieu nya, Kang.”
Wira. ikut, duduk di sini ya , Kang., kenal ku pada mereka.
“Saya To. Mangga, Kang.”
Saya To. Silakan, Kang., ucap orang yang paling dekat dengan ku.
“Asli ti Garut, Kang?”
Asalnya dari Garut, Kang?, tanya ku kembali.
“Muhun, abdi ti Samarang, Kang. Bade ka Papandayan? Meni ageng pisan eta kantong na.”
Iya, saya dari daerah Samarang, Kang. Mau ke Papandayan? Besar banget tasnya., ucapnya.
“Muhun, bade ulin ka ditu. Kang, ari wisata anu di Garut teh naon wae nya?”
Iya, mau main ke sana. Kang, kalau wisata di garut itu apa saja ya?, tanya ku padanya
“Sudah pernah ke pemandian air panas di Cipanas? Cobain deh! Atau kalau mau yang suasananya seperti di Puncak, Bogor akang bisa ke daerah wisata darajat. Sedang terkenal tuh.”, jawabnya antusias.
“Kalau Cipanas sudah pernah, Kang. Malah saya baru tau kalau di darajat ada tempat asik begitu. Nuhun, Kang. Terima kasih.”, ucap ku.

Kulanjutkan obrolan dengan membicarakan berbagai cerita dengan orang-orang di sana, mencoba berbagi pengalaman merantau, bagaimana rasanya meninggalkan keluarga karena harus bekerja di luar kota, atau bahkan di luar pulau. Semua itu membuat aku merasa beruntung karena masih bisa bertemu keluarga ku setiap saat dibanding mereka yang hanya bisa pulang 1 tahun sekali atau 2 kali saja.

Hatiku ikut bersedih ketika kudengarkan cerita dari Kang To yang ternyata harus pulang dan meninggalkan pekerjaannya di Kalimantan karena ingin bertemu ayahnya yang sedang sakit keras setelah jatuh di kamar mandi. Ia ingin mengabdikan dirinya untuk orang tua yang sedang sakit, karena baginya percuma bila hanya mengumpulkan materi sebanyak mungkin tapi tidak bisa membalas budi orang tua yang telah mengurusnya sejak kecil.

hujan

Satu persatu mulai mencoba untuk tidur sambil menunggu bus tiba di Terminal Guntur, Garut. Sementara aku kembali ke kursiku dan duduk di sebelah tas besarku lagi, kemudian memandang ke arah jendela. Mengamati setiap bagian sisi jalan yang terus bergerak di luar bus, seperti itulah rasanya kehidupan di mataku, waktu terus berjalan, begitu juga hidup ini. Semua yang sudah lewat akan tertinggal di belakang, tapi kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dengan berusaha sebaik mungkin pada apa yang ada di depan. Hujan seketika turun membasahi bumi pasundan, mengiringi kesenduan yang sedari tadi aku pikirkan, tentang cerita mereka, cerita tentang pengabdian pada orang tuanya. Apa yang sudah aku lakukan untuk orang tuaku?

ryanhdayat.wordpress.com

Lamunanku tersadar saat Bus memasuki kawasan Terminal Guntur, Garut. Kondektur pun telah berteriak memberitau bahwa ini adalah pemberhentian terakhir sambil membangunkan para penumpang yang sedang tertidur. Aku ambil tasku dan barang lainnya, serta kubangunkan teman-temanku dan mengajak mereka untuk turun dari bus. Ketika kaki ini menginjak bumi Pasundan, langsung terasa udara dingin yang nikmat khas daerah dataran tinggi yang membuat ku ingin segera menyeruput minuman hangat.

Suasana yang aku rindukan seperti itu harus segera buyar, ketika beberapa calo dan tukang ojek berusaha menawarkan jasa mereka. Namun, makin lama seolah semakin memaksa hingga akhirnya beberapa kali Rick harus menolak mereka secara halus dengan bahasa sundanya yang fasih. Usaha mereka untuk menawarkan jasa tidak berhenti begitu saja, akhirnya kami yang harus pindah. Kami langkahkan kaki kami menuju ke warung kopi terdekat, meninggalkan mereka yang kahirnya tak lagi mengejar.

guntur garut

Arlojiku kini menampilkan angka 01.30 dini hari, seraya aku memesan sebuah kopi instant dengan rasa mocca yang disajikan hangat. Nikmatnya meneguk minuman ini sungguh membuat badan ini kembali semangat. Jadwal kami tiba di sini lebih cepat 2 jam dari rencana awal yang sudah kami prediksikan, akhirnya kami pun memutuskan untuk duduk-duduk santai dahulu sambil mengamati keadaan sekitar. Rick mencoba untuk bertanya pada penjual kopi bagaimana cara untuk menuju ke Desa Cisurupan, tempat terdekat sebelum gerbang pos pendakian Gunung Papandayan. Semetara aku dan Dzi sibuk menyeruput kopi hangat kami masing-masing yang sedang mengebulkan uap panas.

Rick bercerita pada ku dan Dzi bahwa kami bisa menemukan angkutan yang bisa membawa kami ke sana jika kami berjalan keluar dari terminal. Karena jalur angkutan tersebut sedang terhadang oleh pasar pagi saat ini, sehingga tidak ada angkutan tersebut yang bisa masuk ke dalam terminal. Setelah membayar jajanan kami dan mengucapkan terima kasih, kami pun mencoba berjalan melewati pasar yang becek setelah hujan menuju ke titik yang disebutkan oleh Rick.

Setelah menunggu hampir setengah jam, akhirnya ada sebuah angkutan yang berbentuk mobil tua berkapasitas penumpang 10 orang berhenti di depan kami. Supirnya turun dan menanyakan tujuan kami, kami pun memberitau bahwa kami ingin menuju ke Cisurupan. Ia menawarkan pada kami harga yang cukup murah sehingga kami langsung setuju. Segera kami naik ke dalam mobil tersebut dan menyusun tas-tas kami dengan rapi. Mobil pun segera berjalan kembali.

Aku awalnya mengira bahwa mobil ini akan langsung menuju ke Desa Cisurupan, tapi kusadari bahwa arahnya menuju ke terminal Guntur kembali. Ternyata sang supir ingin mencari penumpang lainnya sebelum menuju ke desa Cisurupan, pantas saja kami ditawari ongkos yang cukup murah. Beberapa saat kemudian 6 orang yang ternyata berasal dari Jakarta pun telah bergabung dengan kami di dalam mobil tua ini.

Perjalanan segera dilanjutkan kembali, kali ini mobil tua yang sepertinya telah kelebihan muatan itu telah berjalanan menuju arah yang benar. Kucoba untuk membuka jendela di sebelah kananku, sambil merasakan hawa dingin yang terasa sejuk menerpa wajah. Semua itu membuat ku menduga-duga apa saja yang akan menyambutku di sana.

You May Also Like

0 comments