Gunung Papandayan : Setiap Perjalanan Pulang, Selalu Menghasilkan Memori Untuk Dikenang (4/4)

by - January 19, 2018

tegal alun kabut
Garut, Senin sore, saat langit sedang menumpahkan segala fluida-nya yang berupa cairan dan gas, mereka diramu menjadi satu.

Kesempatan kami untuk menikmati indahnya Tegal Alun tampaknya juga harus segera diakhiri. Kami lihat dari jauh, cuaca sudah tak bersahabat, pekat kabut yang semakin mendekat seolah memberitakan bahwa sebentar lagi proses siklus air yang menguap menjadi gas akan segera menjadi air kembali di tempat ini. Namun kami masih ragu, apakah ini hanya akan berlangsung sesaat atau terus-menerus. Bersama akhirnya kami putuskan untuk menunggu terlebih dahulu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Kawan, pernahkah kamu merasakan bagaimana rasanya berada di dalam awan yang ada di atas gunung? Gumpalan putih yang jika dilihat dari kejauhan seperti gumpalan gula-gula kapas itu menerpa dan mengurung kami dengan wujudnya yang berupa butiran-butiran air. Awalnya semua tak berlangsung lama. Hanya rintik hujan kabut kecil yang kami rasa. Kabut pekat itu pun berlalu begitu saja melewati kami. Setelah merasa aman karena sudah tak terusik olehnya lagi kami pun melanjutkan menikmati alam di dataran tinggi ini.

Papandayan 3

Namun ternyata semua hanya sementara, gumpalan kabut yang lebih pekat segera datang kembali ke arah kami. Kali ini ia tak hanya menumpang lewat, tapi benar-benar menumpahkan cairannya. Seketika dataran luas Tegal Alun pun dibasahi oleh air yang terus-menerus turun. Panik, kami pun segera mengemasi perbekalan kami. Tak lupa jas hujan atau jaket anti air segera kami kenakan sambil melihat sekeliling kami. Ternyata hanya ada kami bertiga di sini, segera kami pun berlari meninggalkan tempat yang indah ini.

Papan bertuliskan Tegal Alun pun kami lewati, kini di hadapan kami adalah turunan mamang yang saat naik tadi bernama tanjakan mamang. Bedanya, kali ini kami harus berpacu dengan waktu untuk menuruninya. Karena di belakang kami aliran air semakin deras mengejar kami untuk ikut mengalir ke bawah, dataran yang lebih rendah. Kami pun menuruninya dengan berlari, tak sempat menoleh ke belakang maupun kanan dan kiri. Tujuan kami kali ini hanya satu, secepatnya menuju hutan mati.

hutan mati

Tak dapat aku hindari beberapa kali aku harus jatuh dan merosot ketika menyusuri jalan setapak yang menurun ini. Setelah berjalan agak lama, tak pernah aku rasakan sebahagia ini bertemu dengan pohon-pohon yang tampak bagaikan sudah mati. Kini kami telah tiba di Hutan Mati, seolah semua sedang menyapa dalam sepi, beberapa pendaki terlihat sedang mencari saung tempat untuk bernaung. Kini aliran air sudah tak mengejar kami, tapi kami tetap harus bergegas untuk segera menuju ke Pondok Salada menyiapkan kemah kami kembali agar bisa kami tiduri ketika malam nanti.

Cuaca yang mendung dan gelap ditambah dengan kabut yang berlomba untuk menjadi selimut membuat jarak pandang kami menjadi bias. Jalur yang kami lewati sebelumnya seolah tersamarkan oleh derasnya hujan yang turun. Semua yang ada di sekitar kami tampak sama, pohon mati. Terpaksa harus ku tunda kegembiraan ku ketika berjumpa lagi dengan hutan mati tadi. Berjalan pelan sambil mengingat dan mencoba jalur ternyata membuahkan hasil yang bisa dibilang mujur.

hutan mati

Kini kami dapat melihat Pondok Salada dari kejauhan, posisi kami dari tempat itu hanya dibatasi oleh tanah berlumpur yang terendam air. Segera kami seberangi tanah berlumpur itu tanpa peduli mana yang dangkal atau yang dalam. Setelah bersusah payah, tibalah kami di dekat tenda kami sambil terengah-engah. Kucopot jaket dan celanaku, karena seketika hujan pun berhenti seolah cukup bagi ia untuk mengantarkan kami dari atas hingga ke perkemahan ini. Kujemur semua yang melekat dan basah di tubuhku sambil hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek yang dilapisi dengan kain sarung.

Bodohnya aku tak membawa jaket atau pun celana hangat lain, hingga aku harus mencoba melawan dingin hingga akhirnya senja datang dan berganti dengan sang malam. Namun, sangat disayangkan pesona malam ini belum dapat menggugahku. Bintang indah yang kuharapkan menghiasi langit malam tak dapat aku nikmati karena awan mendung masih bernaung di atas sana. Terpaksa aku isi malam ini dengan berkumpul bersama kawan sambil memasak air hangat dan menyeduh cangkir kopi ku agar badan bisa terasa lebih hangat. Cerita pun mengalir begitu saja bergantian oleh kami, dari kami, untuk kami. Hingga kantuk pun datang dan kami pun masuk ke dalam tenda untuk memejamkan mata.

Namun, sulit rasanya untuk memejamkan mata, ketika aku kembali membayangkan apa yang sudah aku lalui dalam satu hari ini. Hingga bayangan ku pun sudah berganti menjadi mimpi tanpa aku sadari, yang aku ingat hanya hujan yang turun lagi ketika kesadaranku yang terakhir masih menguasai otak ini. Mimpi yang aku alami membuatku membuka mata dan segar seketika, aku dengar hujan sudah berhenti sedari tadi. Kulihat sekitar dan tampak teman-temanku masih tertidur pulas. Aku tak bisa berdiam di dalam tenda, lalu aku putuskan untuk keluar dan berharap bahwa hujan sudah benar-benar berhenti.

Aku buka pintu tenda yang ada di hadapan ku dan semua tampak gelap, hanya beberapa tenda yang berwarna cerah yang dapat kulihat di kejauhan. Kuambil senter untuk menerangi sekitarku, refleks aku lihat ke arah langit saat seluruh tubuhku sudah keluar dari tenda. Tak dapat aku berkata-kata saat itu, hanya mulut yang terbuka menganga menikmati indahnya lukisan Yang Maha Kuasa di atas langit sana. Seolah setiap bintang yang membentuk rasi dapat aku jelajahi dari bawah sini. Hingga tanpa aku sadari, sayup sayup kudengarkan,

Cause you're a sky, 'cause you're a sky full of stars
I'm gonna give you my heart
'Cause you're a sky, 'cause you're a sky full of stars
'Cause you light up the path
'Cause you're a sky, you're a sky full of stars
Such a heavenly view
You're such a heavenly view

Sebuah lagu dari Coldplay - A sky full of stars mengisi malamku saat itu. Tak henti-hentinya mulutku mengucap syukur nikmat untuk melihat sebuah pemandangan yang sangat membuatku terpikat. Satu per satu temanku keluar dari tenda, tak satu pun dari kami dapat beranjak dari tempat kami berdiri. Sesekali kau harus mencobanya kawan! Melihat cahaya bintang tanpa takut terdistorsi oleh polusi cahaya yang telah menelan langit yang ada di kota setiap malamnya. Hingga akhirnya kami sadari bahwa waktu subuh telah datang menghampiri.

Sebagai pertanda kami harus segera menunaikan kewajiban kami beribadah pagi ini. Kemudian kami harus segera siap untuk menyambut sang mentari pagi. Kami susuri jalan yang ada di dalam hutan, seingatku jalan ini akan membawa kami menuju ke pos 2 atau lebih dikenal dengan sebutan Goberhood. Dari sana kami akan menuju ke Bukit Sunrise, di mana kami bisa mengamati langsung sang mentari yang baru saja keluar dari tempat persembunyiannya. Namun, untuk mencapai tempat tersebut diperlukan tenaga extra untuk berjalan melintasi jalur yang berilalang.

before sunrise

Saat itu jam tanganku menampilkan angka 05.47 WIB, kami telah siap menanti sang mentari menunjukkan diri, walaupun saat ini hanya guratan cahaya oranye yang telah mengisi wilayah di sekitar garis cakrawala. Hawa hangat mulai terasa menyentuh kulit ini, pertanda bahwa sebentar lagi san surya akan muncul di hadapan kami. Dan benar saja, tak perlu waktu lama bagi ku untuk melihat kemilau bundarnya yang kekuningan.

bukit sunrise papandayan

Tak terasa telah 90 menit kami menikmati terbitnya matahari pagi ini, kini saatnya bagi kami untuk kembali ke pondok salada lagi. Rasanya masih ingin menikmati semua ini tapi apalah daya kami, sang waktu tak pernah mau untuk menunggu. Kami pun dengan berat hati mencoba melangkahkan kaki kembali. Perjalanan menanjak menuju ke tenda tak membuat semangat kami reda, karena waktu untuk pulang pun kini telah tiba. Kami bereskan semua perlengkapan berkemah kami, dan setelah semua peralatan telah tersusun rapi kami pun berdoa dan segera melangkah turun menuju ke camp david yang ada di bawah.

menyapa mentari

Perjalanan untuk turun terasa lebih mudah dibandingkan saat berangkat kemarin, mungkin juga karena saat itu kami telah merasa bahwa jalur yang akan dilalui sudah pernah kami ketahui. Setelah check-out, maksud saya mencoret daftar kemah yang ada di pos 2, kami pun segera melanjutkan kembali perjalanan menuju ke kawah papandayan. Sungguh tidak kami duga, di sana kami berjumpa dengan rombongan lain yang telah lebih dulu berangkat meninggalkan pondok salada. Kutanya salah satu dari mereka, ternyata ada sebuah masalah yang sedang mereka hadapi. Salah seorang teman dalam regu mereka harus mengambil tasnya yang terjatuh ke dasar jurang di sekitar kawah papandayan, karena tidak sengaja tersenggol.

Perjalanan turun papandayan

Alhasil setelah berjuang cukup keras hingga harus berseluncur di atas batu-batu akhirnya tas tersebut berhasil diambil kembali. Kami pun melanjutkan perjalanan bersama-sama menuju camp david, hingga tiba di area parkir kendaraan. Ada dua hal yang menarik perhatianku saat mendekati area parkiran, pertama adalah toko cinderamata lokal yang menjual kalung dengan bandul berupa kayu yang diukir, dan yang kedua adalah kolam pemandian air panas alami yang ada di sekitar surau.

Tempat yang pertama kuhampiri adalah toko cinderamata, karena aku sangat penasaran dengan bandul kalung yang mereka jual. Bandul tersebut terbuat dari kayu yang mereka ukir menyerupai sehelai daun lengkap dengan tulisan “papandayan” dan yang unik adalah ada dua buah bandul yang berbeda warna. Satu bandul berwarna coklat kekuningan sedangkan satu lagi berwarna coklat kehitaman, tapi aku perhatikan warna tersebut bukan karena diwarnai oleh sang penjual. Lalu karena apa?

Karena penasaran, aku ambil bandul yang berwarna coklat kekuningan dan segera aku berkata pada sang penjual untuk menjadikannya berwarna coklat kehitaman. Ia pun menyanggupi permintaanku, kemudian diambilnya bandul yang kupilih dan membawanya ke luar toko yang berbentuk tenda. Diambilnya pula korek gas dari saku celananya, dan ia nyalakan di dekat bandul tersebut.

Ternyata warna hitam itu ia dapatkan dengan cara membakar bandul kayu tersebut dengan api kecil. Sedikit demi sedikit ia panaskan setiap bagian permukaan bandul sehingga warna hitam kecoklatan menjadi merata di setiap permukaan bandul. Tanpa aku sadari ternyata bandul pesananku itu telah selesai dan aku sangat puas dengan hasilnya.

Selesai mengamati cinderamata, aku pun melanjutkan untuk melihat pemandian air panas. Namun sayang sekali, langit mulai mendung dan sepertinya tak lama lagi akan turun hujan sehingga aku tak sempat masuk dan mencoba pemandiaan air panas alami tersebut, hanya mengamati dari luarnya saja. Dan tak butuh waktu lama bagi sang hujan untuk membasahi seluruh area camp david ini, hingga kami harus berteduh di gubuk-gubuk yang ada di sekitar parkiran. Untungnya segelas teh hangat dan tahu isi yang baru saja digoreng dapat menemaniku menunggu hujan reda.

Saat menunggu hujan itulah seseorang menghampiri kelompokku, ia menawarkan jasanya untuk mengantar kami ke jalan raya dengan mobil bak terbukanya. Kami pun tak ingin menolaknya, asalkan saat hujan reda ia setuju untuk langsung berangkat. Karena kami pun harus segera mengejar bus terakhir yang menuju jakarta tepat sebelum matahari tenggelam. Ternyata ia menyanggupi, bahkan jika nanti semua penumpang ingin menuju ke terminal guntur ia pun bersedia mengantarkan kami langsung ke terminal.

sayonara papandayan

Tepat saat hujan reda, seluruh calon penumpang diminta untuk naik ke atas mobil bak terbuka dan meletakkan barang bawaan di bagian depan bak mobil. Kami pun duduk satu per satu, dan aku kebagian di posisi buritan bak mobil. Ternyata posisi ini menempatkan ku bersebelahan dengan salah seorang penduduk lokal yang ingin menumpang hingga ke jalan raya. Sebut saja namanya Ujang.

Aku coba untuk mengajaknya bicara dan bertanya pada Ujang, apakah ada tempat lain yang bisa kami kunjungi jika sedang berada di Kota Garut, khususnya di daerah sekitar gunung ini. Ternyata ia pun menjawabnya dengan bersemangat. Ada beberapa tempat yang menarik seperti bumi perkemahan, tempat beristirahat, dan yang paling menarik adalah air terjun teko. Letaknya pun tak jauh dari camp david. Jika objek wisata lain di sekitar kota Garut ia menyebutkan, kawasan wisata darajat, pantai-pantai di Pameungpeuk, serta wisata pemandian air panas Cipanas Garut.

Tanpa terasa di tengah-tengah ceritanya, ternyata Ujang harus segera turun dan kami pun akhirnya berpamitan. Saat itu pula sang supir mobil bak menawarkan untuk mengantar kami langsung ke terminal. Kami pun menyetujui karena pikir kami hari sudah mulai sore dan kami harus segera menuju ke terminal. Namun, tak selamanya sebuah keputusan mendadak itu berbuah manis. Baru berjalan sekitar 10 menit, tiba-tiba hujan turun kembali dan membuat semua penumpang di bak terbuka menjadi kalang kabut. Secepat mungkin kami mencoba untuk menutup bak mobil dengan terpal plastik dan setiap orang di bawah terpal berusaha untuk memeganginya agar tidak terbang ditiup angin serta mencegah agar badan dan barang bawaan kami tidak basah terkena hujan.

jalan pulang ke terminal

Hampir setengah perjalanan kami diisi dengan mengobrol di bawah terpal karena di luar terpal hujan masih turun dengan deras. Hingga saat suara kucuran air sudah mulai mereda, kami pun membuka terpal. Lucunya saat kami membuka terpal, ternyata di bagian belakang mobil kami tampak sebuah mobil SUV hitam yang berisi dua orang wanita yang masih muda. Mereka tertawa saat melihat kami membuka terpal dan mendapati bahwa di atas bak mobil di depan mereka tampak 15 orang yang sedang melipat terpal plastik.

Bukannya malu atau risih kami malah balik memperhatikan mereka sambil beberapa orang rekan semobilku menggoda mereka dengan melambaikan tangan dari jauh. Hingga tidak terasa kami sudah hampir sampai di terminal guntur. Turun dari mobil aku pun mengajak teman ku untuk membeli oleh-oleh, karena yang aku tau tidak afdol jika pulang dari Kota Garut tapi tidak membawa oleh-oleh dodol yang merupakan kuliner khas kota ini. Dan tidak lupa aku pun membeli chocodot, apa itu chocodot?

Chocodot adalah gabungan antara coklat dan dodol, unik rasanya, dan yang lebih unik lagi adalah kemasan yang produsen buat untuk membungkus chocodot ini.

via www.1001wisata.com

Tak terasa mencari oleh-oleh ternyata membuat kami lapar, akhirnya kami pun mampir di sebuah warung makan prasmanan sunda. Enaknya makan di sini adalah cukup dengan 15 ribu rupiah kami sudah bisa makan 4 sehat, jika ingin menjadi 5 sempurna cukup menebus segelas susu hangat dengan biaya tiga ribu rupiah lagi.

Kini waktu sudah hampir petang dan kami harus segera mencari bus yang menuju ke Jakarta. Berarti pula kami harus meninggalkan kota ini, tempat yang juga sering disebut dengan Swiss van Java, karena memiliki banyak gunung di sekitarnya. Kota yang dikenal dengan dodolnya. Kota yang juga dikenal dengan pemandian air panas alaminya, kota yang menjadi salah satu kampung halamanku.
Sampai jumpa lagi Kota Garut. Sang Swiss van Java.

You May Also Like

0 comments