Jelajah 3 Pulau : Pulau Kelor

by - December 15, 2017


PULAU KELOR : Garis Depan Penahan Teror Milik VOC Yang Terkenal Horror (3 in 1)
DKI Jakarta, Jakarta Selatan, tepat saat aku sedang berulang tahun.

Apa maksudnya 3 in 1? Pergi ke tiga pulau sekaligus dalam satu hari? Dan lagi pulau-pulau ini dekat serta terjangkau dari Kota Jakarta?
Mana mungkin ada. Jangan membual kawan! Kamu tidak dapat menipu ku.

Bahkan pergi ke Pulau Tidung saja memakan waktu perjalanan yang cukup lama. Mungkin itu yang akan terlintas dalam benak kita ketika kita ingin pergi berpetualang ke sebuah pulau tapi kita berharap bahwa pulau tersebut berada dekat dari Kota Jakarta. Wisata mengunjungi pulau yang harus ditempuh dengan menaiki kapal tidak mungkin bisa didapatkan bila kita tidak bepergian dengan jarak yang cukup jauh dari Ibukota.

Berhubung hari ini hari libur nasional, aku pun bersedia memenuhi undangan untuk melakukan suatu “Perjalanan” ke sebuah (eh, salah.. ternyata tiga buah) tempat yang aku belum pernah kunjungi sebelumnya. Apalagi hari ini hari yang special bagiku. Tepat pada hari ini bertambah usiaku. Belum ada rencana untuk pergi ke mana pun, atau melakukan suatu kegiatan apa pun, maka akhirnya aku pun memulai perjalanan ini. Dan di pagi hari yang berawan ini aku sudah berada di sebuah Pelabuhan yang bernama Muara Kamal.
1
Pelabuhan Muara Kamal, adalah sebuah pelabuhan kecil yang digabung dengan Pasar Ikan lokal, sehingga membuat kondisi di tempat ini kurang nyaman. Hampir mirip dengan Pelabuhan Muara Angke, tapi lebih kecil untuk luasan areanya. Jalanan yang tetap becek walaupun sudah diaspal, serta bau amis ikan laut segar yang sedang dijajakan oleh para pedagang membuat kondisi tempat ini menjadi lebih “sempurna”. Ketika sedang menyusuri jalan menuju ke arah dermaga sudah tiga kali aku dipanggil oleh para tukang ojek setempat. Mereka menawarkan jasanya untuk mengantarku menuju ke dermaga. Padahal aku taksir jaraknya tak lebih dari 200 meter saja dari tempatku sekarang. Aku putuskan untuk tetap berjalan kaki sambil mencoba merekam setiap kejadian di sana.
2 3
Di dermaga aku akan bertemu dengan teman seperjalananku, Ra, Vin, dan Ian, mereka pula yang sebenarnya punya ide untuk petualangan hari ini. Tampaknya Ra betul-betul ingin menepati janjinya yang dulu, ingin menjadi pemandu bagiku ke suatu tempat yang belum pernah kudatangi. Ternyata dermaga di pelabuhan ini berbentuk sebuah bangunan yang tertutup atap dan terbuat dari beton. Aku pun bingung, karena yang aku tau dermaga itu langsung berada di tepian laut. Tapi kusimpan pertanyaanku saat itu. Bertemu mereka membuatku memutuskan untuk mengajak mereka membeli sarapan dulu di tempat itu, tapi beberapa sudah sarapan di rumah atau membawa bekal sarapan. Setelah menyantap sampai tidak bersisa sarapanku pagi ini dan meneguk air mineral dalam botol, kami pun melanjutkan perjalanan serta berjalan meninggalkan dermaga. Dari bangunan itu kami berjalan menyusuri tepian laut yang tidak berpasir hingga tiba di sebuah dermaga yang terbuat dari kayu, di ujung jembatan kayu terparkir sebuah kapal kayu yang beratap lengkap dengan sebuah mesin diesel di bagian buritan kapal.
Ternyata inilah dermaga Pelabuhan Muara Kamal yang sebenarnya. Terjawab sudah pertanyaanku.
8
Menaiki sebuah perahu kayu kita akan akan langsung merasakan sensasi dari semilir angin laut yang menerpa wajah. Cahaya matahari pagi yang menyelinap masuk dari pinggir atap kapal terasa hangat di kulit saat ini. Semua penumpang telah naik, ada sekitar 16 penumpang dan 1 orang pengemudi perahu saat itu. Serta ada tiga kapal lain yang akan menjadi regu seperjalanan kami saat ini. Mesin diesel yang digunakan untuk menjalankan perahu segera dinyalakan dan perjalanan pun dimulai. Tiga buah kapal lain pun sudah jalan terlebih dahulu di depan kami.
6.jpg
Kami akan berada di atas perahu dan mengarungi lautan selama kurang lebih 30 menit. Terlihat gradasi air laut yang perlahan berubah dari warna yang agak gelap dan bersampah hingga menjadi cukup biru. Sepanjang perjalanan dapat kami temui beberapa bambu atau kayu yang digunakan sebagai keramba ikan dan disematkan di tengah laut. Beberapa nelayan yang mencoba beternak ikan pun terlihat sibuk mondar-mandir mengunjungi keramba mereka.
Kami pun sibuk bercanda dan bercerita selama perjalanan itu, hingga tiba-tiba suara mesin diesel tak terdengar lagi.
Mesin itu sangat berisik sebelumnya dan sangat bising di telinga, tapi kini tak terdengar lagi. Aku lihat ke arah belakang ternyata sang pengemudi perahu sedang mencoba menyalakan kembali mesin perahu yang tiba-tiba mati tanpa sebab yang jelas. Sementara itu perahu kami yang tidak melaju menjadi terombang ambing oleh ombak. Goyangan ke kanan dan ke kiri membuat beberapa ibu-ibu yang tadinya sibuk berfoto dan mengobrol menjdi panik karena takut perahu terbalik.
11 12
“Wah, mesinnya mati tiba-tiba begini. Kalau sampai terbalik perahunya langsung berenang ke arah keramba ikan ya!”, ucapku asal.
“Amit-amit jangan sampai begitu deh. Kenapa bisa mati ya?”, tanya Ra.
“Mungkin mesinnya mogok atau solarnya habis.”, jawab Ian.
“Jangan sampe deh, mudah-mudah cepet bisa nyala lagi mesinnya.”, ucap Vin.
Sayangnya tidak ada sinyal ponsel saat itu hanya terlihat timbul-tenggelam di layar. Tidak ada kapal yang dapat kami hubungi dan kapal lain yang menjadi regu kami sudah berada di depan. Harapan kami hanya semoga ada kapal yang melintas dari arah belakang, tapi nampaknya tak ada tanda-tanda akan ada kapal lain. Bahkan kapal para nelayan keramba sudah tak terlihat lagi. Setelah mengutak-utik mesin, akhirnya sang pengemudi kapal dapat menyalakan mesin perahu kembali, entah bagaimana caranya. Terdengar ucapan syukur dari beberapa mulut penumpang yang ada. Perjalanan dilanjutkan kembali. Hati kami sedikit lega, tapi sejujurnya masih khawatir bila kejadian ini akan terulang lagi.
14.jpg
Meninggalkan area keramba, kami pun sampai di lautan lepas. Sungguh sejauh mata memandang hanya ada lautan dan langit yang dibatasi oleh garis horison. Terlihat iringan jet ski di kejauhan yang sedang berlomba-lomba menuju Pulau Bidadari yang ada di sebelah kanan kami. Setelah melewati sang Pulau Bidadari tampak lah sebuah pulau kecil di kejauhan yang mempunyai sebuah bangunan menyerupai benteng kecil. Itulah tujuan kami yang pertama, Pulau Kelor.
4
Berlabuh di dermaga Pulau Kelor segera kami berjalan memasuki pulau. Terhampar di sana area yang berpasir putih menyambut kami di sisi kanan, dan bebatuan yang mencoba menahan serta memecah ombak di sisi kiri kami. Saya pun mencoba menikmati halusnya pasir putih yang langsung mengenai kaki setelah mencopot sendal gunung saya. Sementara Vin, Ra, dan Ian sudah berjalan menuju bangunan yang menyerupai benteng. Sebuah bangunan kecil tepat di depan dermaga menjadi tempat bagi para pengelola pulau bekerja. Ku coba untuk menghamipiri tempat itu. Kucoba pula menanyakan semua hal yang aku ingin tau.
Pulau Kelor dulunya disebut Pulau Kherkof, mungkin karena areanya yang sangat kecil akhirnya tempat ini disebut dengan Pulau kelor, seperti layaknya hanya seluas daun kelor. Dulunya pulau ini digunakan sebagai garis depan untuk mengawasi wilayah perairan Batavia. Makanya didirikan sebuah benteng yang diberi nama Benteng Martello.
19.jpg
Benteng ini berbentuk melingkar terbuat dari batu bata merah dan dibangun oleh VOC pada abad 17 untuk membendung serangan-serangan yang mengarah ke Batavia. Sekarang sih bangunan itu sudah tidak sekuat dulu, karena pada tahun 1880-an sempat terkena dampak tsunami Gunung Krakatau yang meletus. Meskipun sempat porak poranda tapi nyatanya ia tetap kokoh berdiri di sana dengan pesona eksotisnya yang terkadang mistis.”, ujar salah seorang di sana.
“Mistis?”, tanya seorang pengunjung lain yang ingin tau.
“Dulu banyak pejuang Indonesia dan tahanan yang sedang ditawan oleh pasukan Belanda yang gugur di sini. Bahkan cukup banyak pemberontak yang mencoba melawan para penjajah juga tak luput dari maut pada masa itu. Konon beberapa dari mereka dimakamkan di sini. Dan dikenal dengan Makam Zevent Provicien (Peristiwa Kapal Tujuh). Tapi tenang saja, setau saya makam-makam tersebut sudah dipindahkan ke TMP Kalibata pada masa kepemimpinan presiden pertama RI. Walaupun pada malam hari di sini tidak ada listrik, banyak juga kok yang sering berkemah di sini. Kadang mereka malah tidur di dalam benteng saat angin sedang kencang, aman-aman saja.”, jawab orang itu menenangkan.
Setelah puas mendengarkan secuil sejarah dari pulau ini, aku pun tidak sabar untuk bertualang menjelajahinya. Mengitari sisi bagian yang berbatu kulihat beberapa orang sibuk memancing di sana. Beberapa wisatawan lain juga sibuk berpose di sekitar Benteng.
7.jpg
Aku juga tidak mau ketinggalan untuk menyusuri benteng yang berbentuk melingkar tersebut. Memasuki bagian dalamnya kulihat benteng yang terbuat dari tumpukan batu bata yang sangat banyak kokoh berdiri. Terdapat banyak jendela di bagian atasnya. Ada bentuk aneh pada bagian pusat di dalam benteng yang aku sendiri tidak tau apa fungsinya. Yang menarik perhatianku adalah ada beberaaorang yang bisa naik hingga ke jendela bagian atas.
10.jpg
Kucoba untuk mencari jalur supaya aku juga bisa naik ke sana. Setelah mencari jalan dan mencoba berbagai cara untuk memanjat dinding bata. Akhirnya aku bisa duduk di salah satu jendela dan menghadap ke arah laut. Sungguh damai rasanya, saat rambut tersapu angin lembut sambil memandangi laut. Seketika waktu terasa berhenti, ingin rasanya aku dapat menahan jalannya sang waktu agar waktu tidak dapat berjalan kembali hanya untuk sekedar menikmati suasana ini, lebih lama lagi. Benar-benar cocok untuk sejenak melepas penat dari hiruk-pikuk kesibukan Kota Jakarta.
17.jpg
“Ra, Wira! Buruan turun! Jalan lagi yuk ke bagian pulau yang lain!”, ajak Ra diikuti dengan suara Ian.
“Yuk turun, Boss!”, ajak Ian padaku.
Enggan rasanya aku turun dari jendela yang damai ini. Tak terbayang jika dulunya benteng ini sangat sibuk dan dijadikan tempat untuk mengangkat senjata. Namun, kami sudah harus beranjak dari pulau ini, karena sudah cukup lama pula aku bersantai, berfoto dan berjalan-jalan menyusuri pulau bersama rekan seperjalanan. Kami segera menuju dermaga untuk menaiki perahu kembali. Meninggalkan kepingan sejarah yang semakin lama semakin hilang jika masyakaratnya tak mau mencoba menengok ke belakang dan membaca ulang. Layaknya bagian-bagian pulau ini yang mulai terabrasi oleh air laut.

Remah-remah yang ditinggalkan oleh “Perjalanan” mengajarkanku untuk jangan pernah melupakan sejarah yang pernah ada. Selalu mau untuk belajar hal baru tentu kita akan menjadi lebih tau. Siapa lagi yang akan mengingat kita, mengingat jasa para pejuang yang mengambil alih kapal penjajah pada tragedi Zeven Provicien jika bukan kita para generasi muda, generasi penerus yang tak boleh hanya berjalan terbawa arus. Tak semua dari kita kaum muda yang tau tentang sejarah ini adalah bukti bahwa lebih banyak lagi hal yang kita belum ketahui dan harus kita pelajari.
Matahari yang perlahan berjalan menuju posisi puncaknya menemani perjalanan kami ke pulau selanjutnya. Pulau Onrust.

Location : Pulau Kelor, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Indonesia

You May Also Like

0 comments